Skip to main content

Posts

Ngomongin Soal Prestasi Anak Indonesia dan Media

Foto Ilustasi oleh Pixabay Salah satu bentuk hiburan yang saya gemari adalah stand up comedy, sederhananya stand up comedy  adalah bentuk komedi dimana sang pelawak atau comic or stand up comedian menyampaikan materi komedinya di depan audience secara langsung ya pastinya sambil berdiri heuheu. Di Indonesia sendiri ada 2 program kompetisi stand up comedy yang sudah populer, ada Stand Up Comedy Indonesia alias SUCI milik Kompas TV dan ada juga SUCA atau Stand Up Comedy Academy milik Indosiar. Saya cukup mengikuti dua kompetisi ini di 3 tahun terakhir. Pada 22 Oktober lalu SUCA musim ketiga menggelar grand final yang menampilkan 3 finalis diantaranya Bintang dari Jakarta, Karin si anak SD dari Medan, dan Yewen dari Papua. Di tulisan ini saya tidak akan membahas soal teknik stand up comedy maupun menilai penampilan mereka, sebagai mahasiswa komunikasi ada satu hal yang menarik bagi saya dari edisi grand final ini. Seusai Bintang tampil, tim dari Indosiar sepertinya sudah meny
Recent posts

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Mengejar Jokowi

(Foto Alat Berat pengamanan khusus Presiden. Berhubung enggak dapet foto Pak Jokowi, jadi pasang saja ini haha) Sesuai judulnya saya mau bercerita soal pengejaran saya terhadap Pak Presiden yang saya hormati, Pak Joko Widodo. Bukan ngejar-ngejar nagih utang, apalagi ngejar-ngejar mau nembak jadi pacar. Tapi ngejar untuk minta jawaban heuheu. Peristiwanya hari Minggu, 14 Agustus 2016 di Bumi Perkemahan Cibubur. Jadi hari itu akan dilaksanakan pembukaan Jambore Nasional yang akan dibuka langsung oleh Pak Jokowi. Saya ditugasi untuk meliput acara itu. Kebetulan lagi jadi anak magang di CNNIndonesia.com, kanal CNN Student yang isinya soal pendidikan. Bagi yang belum tahu, Jambore itu sederhananya acara kemah besar yang pesertanya anak Pramuka penggalang seluruh Indonesia, tahun ini pesertanya ada juga dari negara tetangga. Menurut panitia, Pak Jokowi bakal datang jam 7 pagi, jadi demi beliau saya berangkat pagi buta sekitar setengah 6 pagi dari Jatiwaringin diantar naik sepeda moto

Bertemu Keluarga Lama

"No! They are not my friend. They are my family" Hari ini, di 4 Juli 2016, ramadhan ke 29 aku kembali diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu keluarga lama yang sudah lama tak bersua, hampir setahun lamanya. Keluarga seperjuangan masa SMK. Keluarga yang menamakan dirinya KOMDAN TEJAB akronim Komputer dan teknik jaringan B. Nama keren dari kelas kami kala STM. Hari ini kami berencana mengadakan buka bersama di rumah salah satu keluarga kami, Indri. Keramahan tuan rumah, adalah sebuah kebahagiaan bagi kami. Senang bisa bertemu keluarga lama, di rumah yang penuh canda tawa. Teman lama rasa baru. Seperti sebuah kutipan dalam sebuah buku yang sempat saya baca mengatakan bahwa kita menemui orang yang berbeda setiap bertemu. Orang selalu berubah setiap detik waktu berlalu, entah keriput yang mulai nampak pada raut wajah, berat badan yang naik satu ons, rambut kepala yang rontok satu helai dan sebagainya. Intinya setiap waktu, orang berubah. Sama seperti keluarga kami.

Menghadapi MEA, Perlukah Sertifikasi Kompetensi Wartawan?

Foto Ilustrasi oleh Pixabay Mungkin belum semua orang yang menyebut dirinya wartawan sudah memiliki sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Mungkin masih banyak yang menganggap Uji Kompetensi Wartawan (UKW) belum terlalu dibutuhkan selama pekerjaan masih lancar. Tapi tunggu dulu! Pada 31 Desember 2015 nanti, Indonesia akan resmi menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. Yang artinya ruang lingkup kerja bagi wartawan tak tertutup hanya di negeri sendiri tapi di 10 negara ASEAN yang lain. Begitu pula para wartawan dari negara lain, bisa dengan bebas masuk dan bekerja di bumi pertiwi. Jika ruang lingkup dan persaingan semakin ketat, bukankah sudah pasti yang berkompetenlah yang akan menguasai persaingan? Untuk mewujudkan keinginan menciptakan wartawan-wartawan yang berkompeten maka Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Standar kompetensi wartawan diperlukan untuk melindungi kepent

Usaha Meningkatkan Mutu Wartawan

Foto Ilustrasi by Pixabay Profesi wartawan adalah hak bagi setiap warga negara. Tidak ada aturan yang melarang seseorang untuk bekerja menjadi wartawan. Profesi wartawan berhadapan langsung dengan kepentingan publik. Dan juga memiliki posisi strategis di negara demokrasi seperti Indonesia. Pers menjadi salah satu dari empat pilar demokrasi setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Maka seseorang yang mengatakan dirinya wartawan haruslah memenuhi kompetensi dasar sebagai wartawan. Standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalitas wartawan. Seperti yang kita ketahui Indonesia akan menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, dimana kita akan dihadapkan langsung dengan pesaing-pesaing dari negara-negara ASEAN lain. Maka dari itu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kita harus meningkat, tak terkecuali para pekerja di bidang jurnalistik. Selain dengan meningkatan kualitas melalui standarisasi kompetensi wartawan, pemerintah juga telah menyiapkan langkah

Jurnalis Harus Narsis

Kelas Jurnalistik bersama Dosen Tamu Yuni Eko Sulisiono (Tengah, menggunakan kemeja putih) seorang wartawan senior yang pernah bekerja di berbagai media dan kini memilih menjadi konsultan media.  Jurnalis bukan pekerjan untuk eksis, tapi butuh narsis. Seperti yang dikatakan Yuni Eko Sulistiono atau yang kerap disapa Kang Obod, seorang jurnalis senior yang kini bekerja sebagai konsultan media. Dalam diskusi tentang jurnalistik pada Jumat 4 Desember 2015 lalu, Kang Obod banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi seorang jurnalis di lapangan, dan muncullah kalimat ini ‘jurnalis harus narsis’. Saya memaknai ‘narsis’ bukan perkara eksistensi sang jurnalis, tapi memenuhi prinsip people right to know bahwa setiap orang berhak tahu, setiap orang harus tahu. Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, lalu meyampaikan informasi kepada publik melalui media massa. Dalam proses ini banyak yang harus dilakukan oleh jurnalis, pengorbanan dan dedi