Skip to main content

Jurnalis Harus Narsis


Kelas Jurnalistik bersama Dosen Tamu Yuni Eko Sulisiono (Tengah,
menggunakan kemeja putih) seorang
wartawan senior yang pernah bekerja di berbagai media dan
kini memilih menjadi konsultan media. 
Jurnalis bukan pekerjan untuk eksis, tapi butuh narsis. Seperti yang dikatakan Yuni Eko Sulistiono atau yang kerap disapa Kang Obod, seorang jurnalis senior yang kini bekerja sebagai konsultan media. Dalam diskusi tentang jurnalistik pada Jumat 4 Desember 2015 lalu, Kang Obod banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi seorang jurnalis di lapangan, dan muncullah kalimat ini ‘jurnalis harus narsis’. Saya memaknai ‘narsis’ bukan perkara eksistensi sang jurnalis, tapi memenuhi prinsip people right to know bahwa setiap orang berhak tahu, setiap orang harus tahu.

Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, lalu meyampaikan informasi kepada publik melalui media massa. Dalam proses ini banyak yang harus dilakukan oleh jurnalis, pengorbanan dan dedikasi pada kebenaran menjadi tuntutan. Seperti yang dikisahkan Kang Obod ketika menjadi jurnalis televisi dan ditugaskan ke daerah konflik di Banda Aceh. Dirinya harus melakukan reportase ketika baku tembak terjadi antara TNI dan kelompok separatis GAM (Gerakan Aceh Merdeka), alasannya ‘narsis’. Menurut Kang Obod televisi adalah agen terkejam, dimana televisi dapat dengan mudah masuk ke ruang privat dari pemirsanya. Hampir di setiap rumah ada televisi, bahkan hingga ruang tidurpun ada televisi. Maka Kang Obod berpikir agar bagaimana caranya dapat membawa suasana konflik yang terjadi ke dalam ruang-ruang privasi tadi. Pemirsa gemar akan hal tak biasa, maka pilihan yang tepat untuk melakukan reportase langsung adalah ketika baku tembak terjadi. Tujuannya agar pemirsa dapat dengan nyata melihat, merasakan bagaimana suasana dan mencekamnya ketika konflik meledak. Suasana konflik saat itu terekam dengan baik, tempat Kang Obod melakukan reportase sekitar 20-30 meter dari lokasi baku tembak, bahkan suara-suara tembakan dapat terdengar melalui microphone yang digunakannya. Tujuannya bukan menakuti, tapi mengirim pesan bahwa konflik harus segera diakhiri. Dan yang memiliki kekuatan untuk mendorong pemerintah menghentikan konflik itu adalah massa dan jurnalis sebagai agennya.


Lalu kenapa narsis? Ya narsis, narsis yang saya pahami adalah keinginan untuk diketahui untuk dilihat, untuk diakui. Saya sepakat dengan pernyataan Kang Obod bahwa prinsip jurnalistik harus narsis, bahwa hasil pekerjaan jurnalistik harus dilihat, harus dibaca, harus didengar oleh banyak orang. Maka agar hal itu terwujud kita harus mengemas karya jurnalistik itu semenarik mungkin bagi khalayaknya. Menarik tapi harus tetap relevan, seperti yang terkandung dalam 9 elemen jurnalisme. Seperti yang dilakukan oleh Kang Obod tadi, ketika ia memilih untuk melakukan reportase langsung saat baku tembak terjadi. Agar orang mau tahu, agar orang mau melihat, maka perlu ditampilkan hal-hal yang diluar kebiasaan dan menarik perhatian. Dan Kang Obod berhasil membawa itu ke ruang para pemirsanya secara nyata.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi