Skip to main content

Menghadapi MEA, Perlukah Sertifikasi Kompetensi Wartawan?


Foto Ilustrasi oleh Pixabay


Mungkin belum semua orang yang menyebut dirinya wartawan sudah memiliki sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Mungkin masih banyak yang menganggap Uji Kompetensi Wartawan (UKW) belum terlalu dibutuhkan selama pekerjaan masih lancar. Tapi tunggu dulu! Pada 31 Desember 2015 nanti, Indonesia akan resmi menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. Yang artinya ruang lingkup kerja bagi wartawan tak tertutup hanya di negeri sendiri tapi di 10 negara ASEAN yang lain. Begitu pula para wartawan dari negara lain, bisa dengan bebas masuk dan bekerja di bumi pertiwi. Jika ruang lingkup dan persaingan semakin ketat, bukankah sudah pasti yang berkompetenlah yang akan menguasai persaingan?

Untuk mewujudkan keinginan menciptakan wartawan-wartawan yang berkompeten maka Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Standar kompetensi wartawan diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat, selain itu standar ini juga bertujuan untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan. Untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik. Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi ini dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi ini.

Standar kompetensi wartawan ini merupakan rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan/kahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan. Tujuan dibuatnya standar kompetensi ini adalah untuk; meningkatkan kualitas dan rofesionalitas wartawan, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh erusahaan pers, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik, menjaga harkat dan martabat profesi kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual, menghindarkan penyalahguanaan profesi wartawan, dan menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

Dalam rumusan standar kompetensi ini terdapat 3 aspek dasar utama yang harus dipahami, dimiliki dan dikuasai seorang wartawan, yaitu kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge), dan ketrampilan (skills). Dalam aspek kesadaran mencakup kesadaran wartawan akan etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, dan pentingnya jejaring dan lobi. Dalam aspek pengetahuan mencakup pengetahuan umum, pengetahuan khusus, serta teori dan prinsip jurnalistik. Sedangkan pada aspek ketrampilan mencakup kegiatan 6M (Mencari, Memerole, Memiliki, Menyimpan, Mengolah, dan Menyampaikan informasi), melakukan riset/investigasi, kemampuan analisis/prediksi arah pemberitaan, serta penggunaan alat dan teknologi informasi.

Dalam standar kompetensi wartawan ini terdapat 3 jenjang kualifikasi yaitu, wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama. Setiap jenjang memiliki kompetensi kunci yang berbeda-beda, maka hal yang diujikannyapun berbeda disesuaikan dengan peruntukan dan posisi jenjang karier wartawan di perusahaan pers.

Wartawan muda memiliki kompetensi kunci dalam melakukan kegiaan kewartawanan, dalam hal ini yang bertugas adalah jurnalis/reporter. Hal-hal yang diujikan juga berkonsentrasi pada kerja wartawan dilapangan, mulai dari perencanaan pemberitaan, mencari bahan liputan, wawancara tatap muka, wawancara door stop, menulis berita, menyunting berita sendiri, menyiapkan isi rubrik, rapat redaksi, dan membangun jejaring.

Setelah menjalani kegiatan jurnalistik sebagai wartawan muda selama sekurang-kurangnya tiga tahun, wartawan dapat mengajukan diri untuk mengikuti uji kompetensi wartawan madya. Wartawan madya berkompetensi kunci pada pengelolaan kegiatan kewartawanan. Hal-hal yang diujikan antara lain; mengindentifikasi/koordinasi liputan/pemberitaan, analisis bahan liputan acara terjadwal, merencanakan liputan investigasi, menulis berita/feature, menyunting sejumlah berita, merancang isi rubrik, rapat redaksi-analisis pemberitaan, mengevaluasi hasil liputan/pemberitaan, dan juga membangun dan memelihara jejaring serta lobi.

Untuk bisa mengikuti uji kompetensi wartawan utama, wartawan sudah sekurang-kurangnya dua tahun menjalani jenjang wartawan madya. Wartawan utama berfokus pada mengevaluasi dan memodofikasi proses kegiatan kewartawanan. Hal-hal yang diujikan antara lain; mengevaluasi rencana liputan, menentukan bahan liputan layak siar, mengarahkan liputan investigasi, menulis opini, menentukan bahan liputan layak siar, kebijakan rubrikasi, memimpin rapat redaksi, dan memfasilitasi jejaring.

Bagi wartawan yang ingin mengikuti dan mendapatkan sertifikasi profesi kewartawanan dapat memilih di beberapa lembaga yang telah ditunjuk atau diverifikasi oleh Dewan Pers untuk melakukan uji kompetensi. Saat ini ada beberapa perusahaan pers yang dapat dijadikan tempat uji kompetensi seperti, Jawa Pos Group dan LKBN ANTARA. Selain perusahaan pers dapat juga mengikuti uji kompetensi melalui lembaga atau organisai kewartawanan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dapat pula di perguruan tinggi yang kini telah dapat menyelenggarakan uji kompetensi seperti Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.

Hasil dari uji kompetensi ini ialah kompeten atau belum kompeten. Wartawan dinilai kompeten apabila memperoleh minimal nilai 70 dari skala penilaian 10-100. Sertifikat kompeensi ini berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas jurnalistiknya. Bagi wartawan pemegang sertifikat kompetensi yang tidak melakukan kegiatan jurnalistik selama dua tahun berturut-turut, dan ingin kembali menjalankan tugas jurnalistiknya, maka diakui berada di jenjang kompetensi terakhir. Lembaga tempat dimana melakukan uji kompetensi akan menentukan kelulusan wartawan, dan Dewan Pers akan engesahkan kelulusan uji kompetensi tersebut. Jika ingin mengetahui wartawan mana saja yang telah tersertifikasi dapat dilihat pada website resmi dewan pers di http://dewanpers.or.id/sertifikasi/kompetensi .

Dengan peningkatan kualitas wartawan melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW) ini diharapkan akan meningkatkan daya saing wartawan Indonesia dengan wartawan negara lain di era pasar bebas ASEN nanti. Dengan peningkatan kualitas maka diharapkan juga berdampak pada pengingkatan kesejahteraan bagi para wartawan. Wartawan bukan buruh, wartawan adalah profesi yang mengenal etika dan kode etik, dua hal yang membedakan buruh dengan pekerjaan profesional. Maka tak layak jika wartwan masih digaji dibawah standar.


Di era persaingan yang ketat maka tuntutan peningkatan kualitas menjadi barang wajib, tapi ada sisi lain yang lebih penting menurut saya dari peningkatan standar kompetensi wartawan ini. Bukan perihal saling sikut untuk dapat posisi atau pekerjaan paling baik, tapi kembali lagi pada hakekat wartawan sebagai pengabdi publik. Peningkatan kualitas wartawan, dan dengan semakin banyak wartawan yang berkompeten terlibat dalam perusahaan pers artinya peningkatan dari kualitas pers itu sendiri, pers yang baik akan menghasilkan produk jurnalistik yang baik pula. Dalam era pasar bebas ASEAN nanti intervensi asing bisa pula hadir bukan hanya para pekerjanya namun juga kehadiran media asing di Indonesia. Jangan sampai kehadirannya malah menggerus media lokal dan tak lagi jadi raja di negeri sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi

Bertemu Keluarga Lama

"No! They are not my friend. They are my family" Hari ini, di 4 Juli 2016, ramadhan ke 29 aku kembali diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu keluarga lama yang sudah lama tak bersua, hampir setahun lamanya. Keluarga seperjuangan masa SMK. Keluarga yang menamakan dirinya KOMDAN TEJAB akronim Komputer dan teknik jaringan B. Nama keren dari kelas kami kala STM. Hari ini kami berencana mengadakan buka bersama di rumah salah satu keluarga kami, Indri. Keramahan tuan rumah, adalah sebuah kebahagiaan bagi kami. Senang bisa bertemu keluarga lama, di rumah yang penuh canda tawa. Teman lama rasa baru. Seperti sebuah kutipan dalam sebuah buku yang sempat saya baca mengatakan bahwa kita menemui orang yang berbeda setiap bertemu. Orang selalu berubah setiap detik waktu berlalu, entah keriput yang mulai nampak pada raut wajah, berat badan yang naik satu ons, rambut kepala yang rontok satu helai dan sebagainya. Intinya setiap waktu, orang berubah. Sama seperti keluarga kami.