Skip to main content

Ngomongin Soal Prestasi Anak Indonesia dan Media

Foto Ilustasi oleh Pixabay


Salah satu bentuk hiburan yang saya gemari adalah stand up comedy, sederhananya stand up comedy adalah bentuk komedi dimana sang pelawak atau comic or stand up comedian menyampaikan materi komedinya di depan audience secara langsung ya pastinya sambil berdiri heuheu.

Di Indonesia sendiri ada 2 program kompetisi stand up comedy yang sudah populer, ada Stand Up Comedy Indonesia alias SUCI milik Kompas TV dan ada juga SUCA atau Stand Up Comedy Academy milik Indosiar. Saya cukup mengikuti dua kompetisi ini di 3 tahun terakhir.

Pada 22 Oktober lalu SUCA musim ketiga menggelar grand final yang menampilkan 3 finalis diantaranya Bintang dari Jakarta, Karin si anak SD dari Medan, dan Yewen dari Papua. Di tulisan ini saya tidak akan membahas soal teknik stand up comedy maupun menilai penampilan mereka, sebagai mahasiswa komunikasi ada satu hal yang menarik bagi saya dari edisi grand final ini.

Seusai Bintang tampil, tim dari Indosiar sepertinya sudah menyiapkan gimmick atau treatment khusus yang ditujukan untuk Bintang. Satu rombongan di datangkan ke atas panggung, ada keluarga Bintang, saudara, teman, sampai aparat desa dan kecamatan dimana Bintang tinggal juga turut didatangkan.

Disana Pak Lurah yang saya lupa namanya memberikan Bintang sebuah penghargaan yaitu sebagai warga kehormatan. Selain Bintang, David sang mentor juga turut dapat penghargaan ini. 

Hal-hal ini membuat saya terfikir soal para anak muda Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, apa mereka mendapat cukup apresiasi? Apa mereka juga jadi warga kehormatan di desanya?

Ketika seseorang masuk TV, ikut lomba pencarian bakat, tayang di TV hampir tiap hari, seluruh orang di kampungnya, di kecamatannya, di kabupatennya, semua heboh bangga-banggain dia. Dibuatkan banner khusus untuk promosi minta dukungan sms, nobar di kampungnya, semua orang larut dalam kegembiraan. Saya juga pernah merasakan itu ketika Yoda dari Kebumen (kampung halaman saya) berhasil tampil di Indonesian Idol dan masuk sampai 3 besar.

Lalu apakabar si anak pemenang kompetisi nasional, kompetisi inernasional? Yang tahu paling ibu bapaknya, guru-gurunya, teman semejanya. Engga ada tuh lurah ngasih penghargaan kehormatan ke dia.


Menyoal Prestasi
Dari kasus tadi satu hal yang saya pahami sebenernya masyarakat merasakan bahwa prestasi-prestasi macam ini (yang terkait sama bakat misal penyanyi; stand up comedian dll) juga bisa bikin mereka bangga. Tapi kenapa mereka (para orangtua) masih saja menekankan kepada anaknya untuk belajar dengan keras, ikut les sana-sini. Kenapa ngga ngasih kebebasan ke anaknya untuk mengembangkan minat dan bakat mereka tanpa pusing mikirin beban ngerjain PR. Toh untuk bikin prestasi yang bisa bikin mereka (read orang tua) bangga ngga cuma dari bidang akademik kan.

Menang lomba makan krupuk, itu prestasi. Menang lomba puisi di kabupaten, itu prestasi. Menang lomba lari, itu prestasi. Prestasi bukan cuma soal ranking satu di sekolahan. Toh ikut SUCA juga bisa menang 100 juta haha.

Peran Penting Media
Lewat kasus ini juga kita bisa lihat, kalau apapun yang muncul di TV bakal bikin masyarakat bangga. Masuk TV itu prestasi tersendiri. Sayangnya media kita kayaknya masih aja menganut nilai lama "bad news, is a good news". Prinsip yang pada akhirnya membuat kita jadi pesimis jadi warga Indonesia, gimana engga? TV isinya kasus mulu, korupsi lagi, perampkan lagi, tawuran pelajar lagi. Padahal di tempat lain anak Indonesia sedang mengukir prestasi.

Prestasi Indonesia bukan cuma bulutangkis, bukan cuma sepakbola, bukan cuma olimpiade matematika. Tahu ngga kalau pelajar Indonesia menang kompetisi yang diadain NASA? Tahu ngga kalau tiap tahun ada kompetisi peneliti muda se-Indonesia? Tahu ngga kalau tim paduan suara Indonesia menang di Eropa? Tahu ngga kalau animator Indonesia berhasil bikin film animasi yang dilirik Disney?

Saya rasa masih banyak yang tidak mendapat apresiasi dengan baik dari negara maupun warga. Kenapa? Karena mereka ngga tahu. Media yang tugasnya menyebarluaskan berita ngga ngasih tahu. Mereka sibuk liputan di Polda, nunggu ada info kejahatan.

Coba kalau media lebih sering memberitakan prestasi-prestasi anak muda kita, yang diarak pake mobil dari bandara ke Istana bukan cuma Tantowi-Liliana. Dan akan lebih banyak Bintang di Indonesia.

So, what do you think? 


Comments

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi

Bertemu Keluarga Lama

"No! They are not my friend. They are my family" Hari ini, di 4 Juli 2016, ramadhan ke 29 aku kembali diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu keluarga lama yang sudah lama tak bersua, hampir setahun lamanya. Keluarga seperjuangan masa SMK. Keluarga yang menamakan dirinya KOMDAN TEJAB akronim Komputer dan teknik jaringan B. Nama keren dari kelas kami kala STM. Hari ini kami berencana mengadakan buka bersama di rumah salah satu keluarga kami, Indri. Keramahan tuan rumah, adalah sebuah kebahagiaan bagi kami. Senang bisa bertemu keluarga lama, di rumah yang penuh canda tawa. Teman lama rasa baru. Seperti sebuah kutipan dalam sebuah buku yang sempat saya baca mengatakan bahwa kita menemui orang yang berbeda setiap bertemu. Orang selalu berubah setiap detik waktu berlalu, entah keriput yang mulai nampak pada raut wajah, berat badan yang naik satu ons, rambut kepala yang rontok satu helai dan sebagainya. Intinya setiap waktu, orang berubah. Sama seperti keluarga kami.