Foto Ilustrasi by Pixabay |
Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi...
Jika Aku Jadi Jurnalis...
Istilah jurnalistik
baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari
hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku
korban televisi. Sama seperti anak-anak lain
kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang
lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar
drama, beliau lebih suka nonton berita.
Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang
begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya.
Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang
dimilikinya. Tegas dan lugas dalam memandu berita, itulah sosok yang
menginspirasiku. Yang ku ketahui kala itu hanyalah, aku ingin kerja di TV. Aku
belum memahami apa makna di balik layar cembung yang selalu ku lihat itu. Yang
pasti, aku mau kerja di TV.
Pergi ke pedalaman,
kerja siang-malam, berkeliling ke seluruh penjuru bumi, punya banyak kawan,
itulah hal-hal yang aku lihat kala itu dari para kuli berseragam ini. Menantang! Itulah yang aku tahu dan aku
percaya sampai saat ini. Sosok intelek yang tahu segala hal, itu wartawan. Aku
tahu istilah wartawan dari Bapakku, beliau jelaskan aku soal orang-orang yang
aku lihat di kotak itu. Mulai saat itu lah ketika di kelas guru menanyakanku
apa cita-citaku, aku selalu jawab ‘aku mau jadi wartawan’. Aneh memang kala
itu, apalagi aku tinggal di kampung yang kalau mau lihat tayangan tv dengan
gambar bagus harus pasang antena tinggi-tinggi. Tak jarang jadi bahan tertawaan
‘apa itu wartawan?’, ‘bagus juga guru’, ‘lebih baik jadi polisi’. Yah, aku tak
mau tahu, aku tahu kok apa yang aku
pilih. Aku beda.
Keinginanku semakin
menguat setelah sedekade ini aku mencari-cari seluk beluk dunia jurnalisme.
Sampai akhirnya aku memilih kuliah Komunikasi. Jurusan yang kini jadi impian
banyak anak di negeri ini. Heran, ketika aku kecil dulu tak ada anak mau jadi
jurnalis, sekarang semua berbondong-bondong berebut kursi Komunikasi.
Beruntunglah, aku menjadi salah satu diantara mereka yang berhasil menembus
seleksi ketat masuk universitas.
Dunia jurnalis mulai
kuselami lebih dalam di kampus. Aku nyambi
jadi crew TV kampus dan tugas jadi bagian dari tim news. Amatiran memang, tapi apa salahnya untuk belajar. Aku belajar
dari sana-sini. Bertanya pada kawan, melihat kerja wartawan, dan ku aplikasikan
saat bertugas ke lapangan. Berat ku akui, mencari berita, mencari narasumber,
mengolahnya menjadi bahan siap tayang. Tapi itu terus memacuku untuk terus
belajar, aku mau jadi professional. Wartawan yang kerja di media nasional
bahkan internasional.
Orang bilang wartawan
harus punya idealismenya sendiri. Tapi akupun belum paham betul idealisme
seperti apa yang harus aku anut. Bill kovach bilang kita harus bertanggung
jawab pada public kita, tapi yang aku lihat di media sekarang sepertinya mereka
lebih jadi corong para penguasa. Idealisme pribadi berbenturan idealisme
industri. Akan seperti apa nanti kala aku sudah terjun ke dunia jurnalisme yang
sesungguhnya. Aku berharap dapat belajar banyak di kuliah Jurnalistik Public
Value perihal idealisme bagaimana yang harus aku anut. Agar aku bisa jadi
jurnalis yang baik dan berpihak pada public.
Banyak bidang di
jurnalistik yang aku tahu, mulai ari politik, ekonomi, seni, olahraga dan
lain-lain. Dulu aku mau jadi jurnalis politik, di sekolah menengah dulu, kalau
ada berita politik kawan mengandalkanku untuk sumber informasi. Tapi kini
ketertarikanku dengan jurnalis politik semakin memudar. Muak! Bosan ku lihat
tingkah para politisi dewasa ini. Mementingkan kepentingan sendiri, lupa akan
kewajiban melayani publik. Aku tak mau lagi berurusan dengan hal-hal itu lagi.
Kini aku lebih tertarik untuk menjadi jurnalis olahraga. Aku suka nonton olahraga. Aku pikir pekerjaan
yang berawal dari kesukaan akan menjadi hal yang menyenangkan. Impianku tugas
di piala dunia meliput pesta bola terbesar di dunia.
Kala lulus nanti aku
juga ingin mendapatkan fellowship ke
VOA. Program ini milik yayasan kerjasama Indonesia-Amerika yang memberikan
kesempatan bekerja selama setahun di VOA, untuk para pelaku baru di bidang broadcasting. Ya! Aku juga suka broadcasting. Sudah kubilang juga di
awal kalau aku korban tv. Jurnalisme
televisi itu yang aku kejar sampai saat ini. Aku ingin orang-orang terdekatku
melihatku di layar kaca menjadi pewarta. Kurasa mengawali perjalanan jurnalisme
ku melalui fellowship ini kan menjadi awal dan peluang yang bagus. Hanya saja
setiap tahun hanya 1-2 orang yang lolos seleksi nasional. Tapi aku akan terus
mencoba untuk lolos ke Amerika. Semoga!
Selain fellowship akupun tak lepas ingin
bekerja di media nasional, cetak apalagi. Kemampuan menulisku masih minim, aku
ingin belajar langsung di media cetak untuk mengasah kemampuan menulisku.
Sampai saat ini masih sulit ku membuat sebuah tulisan yang baik dan bagus.
Tulisan jurnalistik bagiku masih sebuah hal yang sulit, bahkan ketika menulis
artikel inipun sulit bagiku. Entah apa yang harus kutulis, mulai darimana,
susunannya seperti apa, semua masih membingungkan bagiku. Sampai saat ini
akupun masih mencoba dan belajar untuk menulis. Salah satu kemampuan yang harus
dimiliki oleh jurnalis adalah menulis, maka dari itu aku harus menjadi wartawan
yang bisa menulis.
Semoga saja dengan
belajar dan usahaku di kuliah maupun kegiatan nyambi ku untuk menyelami jurnalisme membantuku untuk meraih
mimpiku. Terus belajar dan latihan itulah yang harus kulakukan sekarang. Semoga
nantinya aku bisa menjadi jurnalis yang baik, yang bekerja sesuai kode etik dan
bertanggung jawab pada publik. Aamiin.
Aneh? iya penulisnya juga ngerasa aneh pas nulis ini :D Thanks for reading!
Comments
Post a Comment