![]() |
Foto Ilustrasi by Pixabay |
Satu Oktober 1981 sebuah perguruan tinggi swasta resmi berdiri dibawah naungan Yayasan Tirtayasa, yaitu Universitas Tirtayasa. Jika ditilik dari tanggal berdirinya maka kini sudah tepat 34 tahun perguruan tinggi ini berdiri. Namun berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 32 tanggal 19 maret 2001, perguruan tinggi ini beralis menjadi sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan diambil alih oleh Kementerian Pendidikan dari sebelumnya Yayasan Tirtayasa. Universias Tirtayasa juga berganti nama Menjadi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) yang kita kenal kini.
Dalam perayaan berdirinya Untirta ke 34
pada Kamis (1/10), mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa
Untirta (KBM-Untirta) melakukan aksi meminta pihak Rektorat untuk memenuhi
tuntutan mahasiswa. Beberapa tuntutan diantaranya, besarnya biaya Uang Kuliah
Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru yang mencapai 7 juta, fasilitas belajar
seperti LAB Terpadu FKIP yang tak kunjung dapat digunakan, pengelolaan lahan parkir
oleh pihak Royal Parking yang tidak memberi banyak perubahan, dan tak kunjung
jelasnya kampus Sindangsari.
Dalam mengumpulkan mahasiswa, diwarnai
semacam pemboikotan perkuliahan. Para koordinator aksi dari berbagai Organisasi
Mahasiswa (Ormawa) seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan dan Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) mengajak para mahasiswa yang tengah belajar di gedung-gedung
perkuliahan untuk ikut turun aksi ke jalan dan meninggalkan kuliah, yang mereka
sebut ‘Demi Perubahan’. Suka tidak suka, mau tidak mau mereka harus ikut
menjadi rombongan aksi menuju depan kantor Rektorat.
Aksi dipenuhi orasi yang hampir berujung anarki, apalagi ketika Rektor tak kunjung menampakkan diri. Setelah mennggu sekitar dua jam, Rektor memutuskan untuk menemui kelompok aksi yang berjumlah sekitar 100-200an partisipan, dan mendengar tuntutan mahasiswa yang berbentuk Memorandum Of Understanding (MoU) yang dibacakan oleh Presiden Mahasiswa. Namun pada akhirnya Rektor menolak untuk menandatangani Mou tersebut, dan meninggalkan tempat aksi tanpa mengatakan apapun. Aksi inipun berakhir dengan aksi bakar ban di depan gedung Rektorat.
Aksi dipenuhi orasi yang hampir berujung anarki, apalagi ketika Rektor tak kunjung menampakkan diri. Setelah mennggu sekitar dua jam, Rektor memutuskan untuk menemui kelompok aksi yang berjumlah sekitar 100-200an partisipan, dan mendengar tuntutan mahasiswa yang berbentuk Memorandum Of Understanding (MoU) yang dibacakan oleh Presiden Mahasiswa. Namun pada akhirnya Rektor menolak untuk menandatangani Mou tersebut, dan meninggalkan tempat aksi tanpa mengatakan apapun. Aksi inipun berakhir dengan aksi bakar ban di depan gedung Rektorat.
Satu hal yang cukup menarik perhatian
saya adalah aksi pemboikotan perkuliahan. Mahasiswa datang ke kampus untuk
belajar, kewajiban utamanya ya belajar. Lalu kenapa malah dialihkan untuk ikut
aksi yang nyatanya tak mendapat hasil pasti? Apakah sebuah perubahan harus
dilakukan dengan aksi turun ke jalan? Dengan orasi di bawah terik matahari?
Dengan bakar ban? Dengan tidak mengikuti perkuliahan?
Menurut saya masih ada jalur lain
seperti diplomasi. Bukankah kampus adalah miniatur negara, dimana ada politik
dan birokrasi di dalamnya. Bukankah dengan memboikot perkuliahan semacam itu
justru menghalangi hak mahasiswa untuk belajar. Dibanding melakukan aksi, diplomasi
bisa menjadi pilihan. Teringat saya dengan obrolan dengan Kepala Upt
Perpustakaan Untirta Pusat yang juga alumni Fakultas Hukum Untirta.
Perbincangan ini terjadi di tengah aksi, saya bertanya kepada beliau seperti apa kala itu ketika beliau masih mahasiswa, bagaimana cara mereka menyampaikan aspirasinya. Beliau mengatakan caranya dulu lebih elegan, mereka memilih melakukan audiensi dengan pihak Rektorat dan mengajukan surat permohonan audiensi. Lalu beberapa perwakilan mahasiswa menemui pihak Rektorat untuk menyampaikan tuntutannya, apapun hasil audiensi tersebut disampaikan kembali oleh perwakilan mahasiwa kepada seluruh mahasiswa. Ya, itulah diplomasi. Melakukan pembicaraan dan bernegosiasi. Sayapun sependapat dengan apa yang disampaikan beliau. Lebih efektif karna langsung dibicarakan dengan pihak Rektorat.
Perbincangan ini terjadi di tengah aksi, saya bertanya kepada beliau seperti apa kala itu ketika beliau masih mahasiswa, bagaimana cara mereka menyampaikan aspirasinya. Beliau mengatakan caranya dulu lebih elegan, mereka memilih melakukan audiensi dengan pihak Rektorat dan mengajukan surat permohonan audiensi. Lalu beberapa perwakilan mahasiswa menemui pihak Rektorat untuk menyampaikan tuntutannya, apapun hasil audiensi tersebut disampaikan kembali oleh perwakilan mahasiwa kepada seluruh mahasiswa. Ya, itulah diplomasi. Melakukan pembicaraan dan bernegosiasi. Sayapun sependapat dengan apa yang disampaikan beliau. Lebih efektif karna langsung dibicarakan dengan pihak Rektorat.
Comments
Post a Comment