Skip to main content

Menilik Sistem Sentralisasi Penyiaran di Indonesia

Foto Ilustrasi by Pixabay



Seminggu yang lalu saya mendapat sebuah buku dengan judul “Televisi Jakarta Di Atas Indonesia; Kisah Kegagalan Sistem Televisi berjaringan Di Indonesia” karya Ade Armando seorang pengajar tetap di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI yang juga mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (2004-2007). Buku ini membangunkan saya dari buaian mimpi indah selama belasan tahun saya menikmati tayangan televisi di Indonesia. Belum tuntas memang saya baaca buku tersebut, tapi saya mendapat cukup gambaran bagaimana sebenarnya sisten penyiaran di Indonesia saat ini dan bagaimana seharusnya itu dijalankan.

Selain buku tersebut keingintahuan saya mengenai sentralisasi ini mengantarkan saya pada sebuah jurnal penelitian yang digarap oleh Remotivi dan juga FIKOM UNPAD. Penelitian ini diberi judul “Melipat Indonesia Dalam Berita Televisi”, penelitian ini lebih mengkhususkan dirinya pada bidang pemberitaan dalam sistem sentralisasi penyiaran di Indonesia. JABODETABEK adalah separuh Indonesia, begitulah hasil penelitian yang dilakukan pada 2014 ini.

Sentralisasi yang dimaksudkan disini adalah bagaimana 10 stasiun televisi swasta besar yang memiliki hak siar nasional berada di Jakarta dan bersiaran di Jakarta. Dalam bukunya Armando menjelaskan bahwa sistem sentralisasi ini menghasilkan ketidakadilan ekonomi, politik, dan budaya. Secara ekonomi, ratusan miliar bahkan triliunan rupiah belanja iklan televise beredar di Jakarta. Rumah produksi dan industri iklan sebagian besar tumbuh di Jakarta. Hasilnya, lapangan pekerjaan di industri televisi hanya berkembang sehat di Jakarta. Lapangan pekerjaan di daerah hanya tersedia stasiun TV lokal yang merana secara bisnis atau pekerjaan sebagai kontributor stasiun TV Jakarta dengan kesejahteraan rendah. Scara politik, apa yang terjadi di stasiun TV Jakarta bersiaran nasional kurag lebih sama. Banyak daerah di berbagai belahan Indonesia tidak mendapat peliputan media yang memadai saat terjadi Pemilukada, misalnya. Di sebagian besar tempat, televisi tidak hadir bagi publik yang membutuhkan informasi memadai dalam kontestasi demokrasi. Berita-berita dari daerah luar Jakarta mengenai politik, ekonomi, dan budaya lokal yang disetorkan contributor harus bersaing dengan berbagai berita “nasional” yang asalnya dari Jakarta. Pada saat bersamaan, budaya metropolitan merembes ke berbagai belahan bumi Indonesai seolah tanpa filter. Gaya hidup sinetron dan selebritas yang semuanya berlatar belakang metropolitan Jakarta, mendesak budaya lokal ke sudut terjauh dari ruang publik kita. Alhasil, sentralisasi membunuh fungsi media sebagai ruang publik. Kita jelas membutuhkan regulasi yang memungkinkan keragaman isi media, demi menumbuhkan ruang publik yang adil.

Indonesia negara yang penuh keragaman budaya dan memiliki luas daratan yang terhampar dari ujung barat hingga timur yang begitu luar biasa tidak bisa lagi meggunaka sistem sentralisasi ini. Beberapa konten siaran mungkin masih bisa diterima di sebagian besar daerah, namun tidak dapat diterima di sebagian besar daerah lainnya. Maka dari itu publik membutuhkan jaringan-jaringan TV lokal yang mampu memenuhi kebutuhan informasi di daerahnya. Publik memang perlu tahu bagaimana kinerja anggita DPR mereka di Jakarta, namun publik juga perlu tahu bagaimana wakil mereka di daerah. Itulah yang tidak dapat dipenuhi oleh televisi swasta Jakarta yang bersiaran nasional. Sistem pertelevisian ini memang tak dapat mendukung sistem kebhinekaan yang sebenarnya merupakan kekayaan yang tak tertandingi. Penyeragaman menjadi kata kunci. Kadang efek keterpusatan ini bias menggelikan. Sebagai contoh suara azan yang disiarkan stasiun televisi berdasarkan Waktu Indonesai Barat. Kalau di Jakarta maghrib, seluruh Indonesia harus mendengarkan azan maghrib. Pada bulan ramadhan, waktu berbuka danwaktu sahur ditentukan Jakarta. Dalam siaran terpusat ini, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur menjadi pinggiran.

Sistem Stasiun Jaringan (SSJ)

Sebenarnya regulasi yang mengatur sistem ini sudah ada yaitu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, lebih tepatnya pasal 20 yang mengatur soal Sistem Stasiun Jaringan (SSJ), yang meyatakan “Lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran dengan 1 (satu) cakupan wilayah siaran”. Dengan begitu tidak ada stasiun televisi yang boleh bersiaran nasional ke seluruh Indonesia kecuali berjejaring dengan stasiun televisi lokal. Yang dimaksud dengan berjejaring adalah, pada saat memasuki (bersiaran) daerah lain, televisi induk jaringan hanya boleh sebatas pemasok knten bagi televisi-televisi lokal yang berjejaring dengannya. Harapannya dengan SSJ bisnis televisi lokal dapat tumbuh, dan seiring dengan itu tumbuh pula konten dan perspektif lokal.

Sistem desentralisasi atau siaran berjaringan ini juga sudah diterapkan di berbagai negara dengan cakupan wilayah yang cukup luas seperti AS, Kanada, China, India, Korea Selatan, dan sebagainya. Sebenarnya di Indonesia juga telah diterpakan oleh Lembaga Penyiaran Publik milik pemerintah yaitu TVRI dan RRI. TVRI memiliki kantor pusat di Jakarta dan stasiun-stasiun lokal di setiap provinsi sebagai jaringannya. Televisi TVRI di daerah memang masih mengandalkan sebagian besar pasokan acara dari TVRI pusat Jakarta, dan dilengkapi dengan konten-konten lokal daerah tersebut. TVRI daerah menangkap siara dari TVRI pusat lalu mengolahnya kembali, menyeleksinya, serta menambahkannya sebelum menyiarkannya ke penonton darah dimana TVRI regional itu berada.

Yang menjadi model utama sistem berjaringan ini pastilah Ameriak Serikat. Ada 4 jaringa televisi raksasa yang dapat dinikmati pemirsa seluruh AS yaitu NBC, ABC, CBS, dan FOX. Siaran yang dipancarkan keempat jaringan tersebut tentu mampu menjangkau seluruh AS melalui rantai stasiun-stasiun lokal. Sebagian kecil dari televisi lokal itu dimiliki perusahaan jaringa tersebut, (disebut Own and Operated atau O&O), dan sebagian lainnya dalah stasiun afiliasi yang dimiliki oleh perusahaan induk lain atau bahkan berdiri sendiri secara independen. Sebagai contoh KABC di Los Angeles adalah stasiun lokal yang berafiliasi dengan jaringan ABC dan dimiliki (O&O) oleh ABC; sedangkan KPEG-TV di Fresno, California, adalah stasiun lokal yang berafiliasi dengan jaringan CBS , tetapi dimiliki oleh perusahaan induk lain bernama High Plains Broadcasting Inc.

Stasiun-stasiun lokal tersebut memiliki arti penting bagi keemat jaringan raksasa. Stasiun0stasiun lokal itulah yang memiliki izin penyiaran di setiap daerah sehingga tanpa mereka, siaran jaringan raksasa tersebut tak akan mungkin menjangkau penonton di seluruh AS.

Hingga saat ini implementasi pasal 20 UU No.32 Tahun 2002 tentang Sistem Stasiun Jaringan masih menjadi wacana. Undang-undang ini mendapat penolakan dari para pelaku industri penyiaran. Ada 4 alasan yang menjadi perdebatan atas pemberlakuan UU tersebut; 1) Upaya UU penyiaran membatasi konten penyiaran demi perlindungan bagi publik, justru dipahami industry sebagai kekangan atas kebebasan berekspresi; 2) Otoritas Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen yang diamanatka UU untuk meregulasi penyiaran, dengan serampangan disamakan oleh kelompok industry sebagai kembalinya rezim kekuasaan ala Kementrian Penerangan era Orde Baru; 3) Penolakan atas laranga kepemilikan silang, yang terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa pada saat diundangkannya UU Penyiaran, struktur industry penyiaran sudah terjadi kepemilikan silang, dan karenanya mereka yang diuntungkan oleh praktik monopoli tersebut enggan mengubah status quo yang ada; 4) Industri penyiaran menolak pemberlakuan Sistem Stasiun Jaringan yang hendak membatasi jangkauan siaran televisi nasional.

Comments

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi

Jurnalis Harus Narsis

Kelas Jurnalistik bersama Dosen Tamu Yuni Eko Sulisiono (Tengah, menggunakan kemeja putih) seorang wartawan senior yang pernah bekerja di berbagai media dan kini memilih menjadi konsultan media.  Jurnalis bukan pekerjan untuk eksis, tapi butuh narsis. Seperti yang dikatakan Yuni Eko Sulistiono atau yang kerap disapa Kang Obod, seorang jurnalis senior yang kini bekerja sebagai konsultan media. Dalam diskusi tentang jurnalistik pada Jumat 4 Desember 2015 lalu, Kang Obod banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi seorang jurnalis di lapangan, dan muncullah kalimat ini ‘jurnalis harus narsis’. Saya memaknai ‘narsis’ bukan perkara eksistensi sang jurnalis, tapi memenuhi prinsip people right to know bahwa setiap orang berhak tahu, setiap orang harus tahu. Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, lalu meyampaikan informasi kepada publik melalui media massa. Dalam proses ini banyak yang harus dilakukan oleh jurnalis, pengorbanan dan dedi