Skip to main content

Kreatifitas Kelewat Batas

Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itulah semboyan yang didengungkan Bapak pendiri bangsa, Soekarno. Kata yang sering kita dengar di hari-hari besar berbau kebangsaan seperti Hari kemerdekaan, Hari Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan. Tapi sudahkah semboyan itu dijalankan? Atau hanya sekedar semboyan dan perayaan seremonial? Masihkan anak muda Indonesia tau siapa pahlawan mereka? Sudah sepantasnya anak muda, generasi penerus bangsa terus mengenang dan menjadikan pahlawan sebagai panutan. Jasanya perlu diingat, untuk jadi cerminan bahwa negaranya kini tak didapat dari belas kasihan, tapi perjuangan penuh pengorbanan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya, istilah umum kala perayaan Hari Pahlawan di 10 November setiap tahunnya.

Generasi muda, generasi penuh gairah, semangat dan kreativitas. Kreativitas tanpa batas, itulah semboyan dalam berkreasi. Termasuk kala perayaan hari pahlawan. Momen ini dijadikan momentum mengekspresikan diri melalui seni. Kreator perfilman membuat kisah perjuangan para pahlawan dalam kemasan audio-visual, musisi mencipta musik berbau semangat perjuangan, ahli desain visual membuat poster-poster wajah pahlawan berisi pekikan perjuangan. Berbagai macam karya dapat kita jumpai di social media, yang bersifat positif sampai yang berkonotasi negatif. Entah disadari atau tidak terkadang kita melihat kiriman gambar yang menggunakan tokoh pahlawan namun isinya sama sekali tidak mencerminkan sifat kepahlawanan maupun semangat perjuangan, melainkan bahan tertawaan.

Lihat saja pada gambar Kartini, pejuang perempuan dengan judul bukunya yang terkenal ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ berpenampilan normal layaknya perempuan Jawa dengan kebaya dan sanggul, dirombak sedemikian rupa menjadi wanita bersanggul, berkacamata, dengan pakaian terbuka. Kata-kata ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ diplesetkan menjadi ‘Berangkat Gelap Pulangnya Terang’, menggambarkan perbandingan anak muda dulu dan kini. Saat ini juga tengah marak tren ‘quote kampret’ yang berisi kutipan-kutipan bernada kegalauan maupun kenylenehan anak muda jaman sekarang dan dikaitkan pada tokoh-tokoh terkenal, salah satunya pahlawan nasional. Tan Malaka, dengan salah satu kalimat paling terkenalnya saat dia berpidato  di Kongres Komunis Internasional (Kominter) pada 1922. "Kalau saya berdiri di depan Tuhan, saya adalah seorang muslim. Bila saya berdiri di depan manusia saya bukan seorang muslim," seperti itu bunyinya. Kata-kata itu dirubah, diparodikan menjadi ‘Di hadapan Tuhan, aku seorang muslim; di hadapan manusia, aku seorang komunis; di hadapan mantan... Aku hanya butiran debu’. Entah apa yang melatarbelakangi pembuatan karya-karya semacam ini. Sebagai tokoh pejuang bangsa tak pantas rasanya menjadikan para pahlawan sebagai bahan guyonan dan tertawaaan. Penyuntingan gambar Kartini boleh jadi yang terparah, hal sangat tidak terpuji, merusak nama baik Kartini. Pernahkah terpikir, apa yang dirasakan oleh keluarga Kartini jika melihat Istrinya, Ibunya, Tantenya, Bibinya, adik perempuannya, kakak perempuannya dijadikan bahan guyonan dengan menjadikannya tokoh tak senonoh. Dimana rasa hormat pada tokoh yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa?

Ada pula hal lain yang sering kita jumpai yaitu, tindakan mencorat-coret uang dengan gambar pahlawan. Dan yang paling populer adalah Kapitan Pattimura, pada mata uang seribu rupiah. Ya, karna nilainya yang dirasa tidak terlalu besar dibanding mata uang Imam Bonjol, Sultan Mahmud Badaruddin, Oto Iskandar Dinata, I Gusti Ngurah Rai dan Soekarno-Hatta. Mata uang Kapitan Pattimura jadi yang terpopuler sebagai objek percobaan. Pengeditan manual hingga digital dilakukan. Kerap kali kita melihat Pattimura berganti wujud menjadi tokoh-tokoh lain mulai dari Spider-Man, Naruto, power Ranger hingga Pattimura melakukan selfie dengan tongkat narsis yang tengah digemari. tindakan ini telah menghilangkan nilai tukar dari mata uang itu sendiri, seperti yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana BAB X Tentang Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas. Penggunaan tokoh pahlawan menjai ikon di mata uang pastilah memiliki tujuan terpuji. Agar kita para penerus bangsa terus mengenang dan menghargai jasa para pahlawan. Dengan uang kita diingatkan agar tak lupa dan terus belajar akan semangat berjuang dari para pahlawan untuk mengisi kemerdekaan. Tindakan mencorat-coret wajah pahlawan bukanlah tindakan mengahargai melainkan menodai.

Ya, anak muda Indonesia memang begitu kreatif. Namun kreativitasnya terkadang kelewat batas. Tak melihat siapa yang menjadi objek berseni. Dimana etika dan rasa hormat yang dianut bangsa? Tak etis menjadikan tokoh pejuang bangsa sebagai bahan candaan, melihat jasa yang begitu besar telah mereka torehkan. Bayangkan dimasa depan, anak-anak cucu melihat hal ini. Sepertinya tak akan ada lagi sosok pahlawan penuh kisah semangat pengorbanan, habis sudah dimakan candaan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan, bukan yang menjadikan pahlawan sebagai bahan hiburan.


Dimuat dalam harian lokal Radar Banten
Edisi 10 November 2015
Pada kolom Academia 

Comments

  1. Negara ini akan hancur dengan ulah bangsa yg gak menghargai jasa pahlawannya, kurangnya pembelajaran etika dan rasa hormat terhadap org lain itu lah yg membuat bangsa ini tak menghargai pahlawan. Mungkin hari ini pahlawan tdk dihargai dan dijadikan bahan candaan, suatu saat ini bangsa ini malah tdk akan dihargai dan dijadikan bahan candaan oleh negara lain.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi

Jurnalis Harus Narsis

Kelas Jurnalistik bersama Dosen Tamu Yuni Eko Sulisiono (Tengah, menggunakan kemeja putih) seorang wartawan senior yang pernah bekerja di berbagai media dan kini memilih menjadi konsultan media.  Jurnalis bukan pekerjan untuk eksis, tapi butuh narsis. Seperti yang dikatakan Yuni Eko Sulistiono atau yang kerap disapa Kang Obod, seorang jurnalis senior yang kini bekerja sebagai konsultan media. Dalam diskusi tentang jurnalistik pada Jumat 4 Desember 2015 lalu, Kang Obod banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi seorang jurnalis di lapangan, dan muncullah kalimat ini ‘jurnalis harus narsis’. Saya memaknai ‘narsis’ bukan perkara eksistensi sang jurnalis, tapi memenuhi prinsip people right to know bahwa setiap orang berhak tahu, setiap orang harus tahu. Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, lalu meyampaikan informasi kepada publik melalui media massa. Dalam proses ini banyak yang harus dilakukan oleh jurnalis, pengorbanan dan dedi