Skip to main content

IKJ Dance Carnival 2015


"Saya rasa jika ada orang yang mengatakan anak muda Indonesia tak lagi peduli seni tradisi, cobalah kurangi menonton televisi dan datanglah ke sanggar-sanggar seni."




Kemarin tepatnya Sabtu, 2 Mei 2015 saya diajak oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pandawa, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa untuk ikut bersama mereka menghadiri IKJ Dance Carnival 2015. Acara ini diadakan dalam rangka Hari Tari Interasional yang juga bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Acara yang diadakan oleh Keluarga Besar Tari Institut Kesenian Jakarta da Prodi Tari IKJ ini diselenggarakan di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

Sesuai dengan namanya, pada karnaval ini saya menyaksikan berbagai pertunjukkan para seniman yang berekspresi dengan anggota tubuhnya. Harminis dengan lantunan nada dan irama. Berbagai macam aliran disuguhkan dari tradisional hingga yang kekinian. 50 sanggar seni turut dihadirkan untuk memeriahkan acara ini. Salah satunya adalah UKM Pandawa yang dijadikan tim pembuka. Spesial memang, karna merekalah satu-satunya yang menamilkan seni budaya Banten. Tarian budaya Banten dipadukan dengan seni debus yang melegenda dengan ilmu kekebalannya. Tak pelak penampilan Pandawa mengundang decak kagum penonton.


Pandawa tampil menjadi tim pembuka, sebuah kehormatan. Saat turut menyaksikan mereka di tengah kerumunan penonton dan media membuat saya jantung saya berdebar dan merinding. Meskipun saya bukan orang Banten, namun ketika Pandawa mendapat sorakan dari penonton turut membuat saya hayut dalam kebanggaan yang luar biasa. Seakan ini loh, Banten punya!. Sangat bangga rasanya Untirta memiliki anak-anak muda yang masih terus melestarikan budaya nenek moyangnya. Saya bukan anggota Pandawa, tapi saya bangga punya mereka. Dan ikut bahagia menjadi saksi betapa diluar Untirta, mereka mendapat apresiasi yang begitu besar. Sepertinya Untirta harus berkaca... hehe

Acara ini juga dibuka dengan penampilan para penari muda berakat dari Ibukota. Mereka menampilkan tarian modern yang di kawinkan dengan tari tradisional. Tak ada kata lain selain keren!
Dan pastinya tarian daerah lain juga ditampilkan seperti tari Betawi. Selain menampilkan pertunjukkan tari IKJ Dance Karnival yang memiliki tema Life is Easy Just Dance ini juga menyughkan pameran foto yang terletak di gedung Teater Mini, TIM.

Pada malam harinya pertunjukkan masih berlanjut dengan penampilan dari 50 sanggar seni yang berasal dari DKI. Semua penari tumpah ruah disini, mulai dari balita hingga yang cukup umur untuk dipanggil Om atau Kakak. Sangat menarik, tarian dari berbagai daerah seperti Aceh, Minang, Betawi dan Jawa ditampilkan. Ada anak TK hingga Mahasiswa. Perempuan, laki-laki, perempuan yang tampil laki-laki, laki-laki tampil kewanitaan tampil semua disini.

Ini dia yang membuat saya sangat bangga, lihat betapa lucunya mereka berbalut busana daerah..



Kakak-kakak merekapun tak mau kalah, ini beberapa yang menjadi favorit saya. Tidak terlalu paham dari mana dan apa nama tariannya karna tak ada informasi yang disampaikan. Saya hanya bisa menerka-nerka dari musik dan kostum yang digunakan. Intinya ini budaya Indonesia dan pastinya keren!















Ada yang unik di dua penampilan terakhir, 5 lelaki cantik berkostum feminim siap menggoncang arena. Tim ini menampilkan tarian tradisional dengan diselingi musik masa kini. Salah satunya adalah lagu yang tengah populer, Goyang Dumang. Penampilan kelima penari ini sontak membuat penonton tertawa dan menganga. Tarian enerjik yang ditampilkan mampu menghibur penonton, yang tadinya sudah mulai bosan. Apalagi rintik hujan yang turun turut membuat penonton satu persatu meninggalkan tempat duduknya. Mereka mampu menarik penonton yang tadinya menjauh untuk kembali mendekat. Salah satu penari cukup berani untuk melakukan aksi salto di tengah penampilan mereka. Selain itu para penari juga mendekati beberapa penonton untuk digodan dan menari bersama.








Dan penutup untuk pementasan taru tradisional adalah atrian dari Jawa dengan kostum yang nyentrik, apalagi kaca mata hitamnya.


OH, ada yang terlewat! Penampilan solo dari seorang Bapak yang tidak saya ketahui namanya hehe
Beliau menampilkan tarian Jawa yang begitu anggun dengan kombinasi musik kontemporer.


Setelah tari tradisional tuntas ditampilkan sekarang giliran tari Pop atau modern unjuk gigi. Pertunjukkan ini diawali dengan penampilan komunitas Streetpass Animal Pop. Puluhan anggota tim turut ambil bagian. Dengan kostum yang senada, tim ini mampu membuat penonton terpana. Anggotanya dari anak TK, remaja, hingga dewasa. Semua tampil maksimal menghibur pangunjung.
Setelah penampilan Streetpass selesai dilanjutkan dengan atraksi parkour yang menegangkan. berbagai atraksi berbahaya ditampilkan. berlari, meloncat dari ketinggian, salto, semua ditampilkan. Setelah itu segerombolan wanita cantin bak bidadari turun dari langit siap menghibur penonton. Dengan balutan kostum yang elegan mereka mengawali penampilan di tangga Teater Kecil. Sangat anggun dan mempesona. Masih dari penampilan wanita cantik, Belly Dance juga turut ditampilkan. Boleh dibilang para lelaki malam ini sangat dimanjakan hehe. Sayangnya momen ini tidak dapat saya abadikan. Apalah daya ketika kamera tak lagi memiliki tenaga. Tapi saya sempat memotret anggota streetpas dan juga tempat dimana penampilan tari modern ini ditampilkan.



Saya juga merasa sangat beruntung karna saya berjumpa dengan salah satu budayawan terkenal, Slamet Rahardjo.

Saat menyaksikan suguhan tari tradisional dan juga menyaksikan kawan Pandawa, cukup melegakan bagi saya. Banyak orang mengatakan bahwa anak muda Indonesia mulai melupakan budaya bangsanya dan tak lagi tertarik untuk belajar tradisional. Tapi menurut pemikiran saya, di Jakarta saja yang terkenal dengan modernitas yang luar biasa. Dengan terpaan teknologi yang boleh dibilang lebih maju dibanding daerah lain, masih banyak anak muda yang mau belajar seni tradisi. Mereka masih peduli dan mau belajar untuk melestarikan budaya nenek moyang. Saya rasa di daerah masih begitu banyak anak muda yang mempelajari seni tradisi. Contohnya di Banten, saya masih melihat berbagai sanggar seni berdiri dan dipenuhi anak-anak muda berbakat. Hal itu juga saya rasakan di kampung halaman saya di Kebumen, Jawa Tengah. Saya rasa jika ada orang yang mengatakan anak muda Indonesia tak lagi peduli seni tradisi, cobalah kurangi menonton televisi dan datanglah ke sanggar-sanggar seni. Setidaknya hargailah mereka, apresiasi karya mereka. Tanpa mereka budaya bangsa bisa tertelan arus dan lenyap terkena imbas modernisasi.


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi

Jurnalis Harus Narsis

Kelas Jurnalistik bersama Dosen Tamu Yuni Eko Sulisiono (Tengah, menggunakan kemeja putih) seorang wartawan senior yang pernah bekerja di berbagai media dan kini memilih menjadi konsultan media.  Jurnalis bukan pekerjan untuk eksis, tapi butuh narsis. Seperti yang dikatakan Yuni Eko Sulistiono atau yang kerap disapa Kang Obod, seorang jurnalis senior yang kini bekerja sebagai konsultan media. Dalam diskusi tentang jurnalistik pada Jumat 4 Desember 2015 lalu, Kang Obod banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi seorang jurnalis di lapangan, dan muncullah kalimat ini ‘jurnalis harus narsis’. Saya memaknai ‘narsis’ bukan perkara eksistensi sang jurnalis, tapi memenuhi prinsip people right to know bahwa setiap orang berhak tahu, setiap orang harus tahu. Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, lalu meyampaikan informasi kepada publik melalui media massa. Dalam proses ini banyak yang harus dilakukan oleh jurnalis, pengorbanan dan dedi