Skip to main content

Tindak Anarkis Terhadap Para Jurnalis


Foto Ilustrasi by Pixabay


"Pers merupakan salah satu pilar demokrasi, jika mereka terus saja diciderai bagaimana negeri ini bisa mengatakan bahwa dirinya sudah cukup demokratis"



Beberapa waktu lalu saya menghadiri kajian bulanan yang diselenggarakan oleh LPM Orange, FISIP Untirta. Tema pada hari itu adalah “Bebas Bablas Pers” yang membahas tentang kebebasan pers. Pada awal pembahasan pemateri yang tidak lain adalah dosen jurnalistik Ilmu Komunikasi, Mia Dwianna menyajikan sebuah artikel yang berisi tentang riset Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) soal 12 kasus kekerasan terhadap jurnalis hingga bulan Mei 2015. Sepuluh diantara kasus tersebut terjadi di di luar Jabodetabek. Kemungkinan kasus seperti ini meningkat masih sangat besar, mengingat tahun 2014 lalu terjadi 41 kasus dan kali ini pada awal tahun saja sudah terjadi 12 kasus. Hal tersebut cukup membuat saya penasaran, kenapa hal semacam ini bisa terjadi, dan kenapa kasus kekerasan semacam ini lebih sering dialami oleh jurnalis di daerah?

Seperti yang kita tahu bahwa media di daerah tak lebih bergairah dibanding media-media besar di ibukota. Hal ini juga yang membuat kesejahteraan jurnalis di daaerah masih di bawah kata layak. Menurut saya hal ini juga menjadi salah satu faktor terjadinya kekerasan terhadap jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Kerap kali para jurnalis berlomba-lomba mencari berita paling eksklusive demi mendapat insentif lebih. Dan pastinya jika berita eksklusive mereka ditayangkan akan mendapat perhatian masyarakat. Tapi, untuk mencari berita semacam itu membutuhkan pengorbanan dan perjuangan yang tidak biasa. Para jurnalis dituntut bekerja ekstra keras dan dan mengulas ekstra dalam. Maka pada proses inilah kasus kekerasan dapat terjadi. Seperti pada kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, Anak Agung Gede Prabangsa. Prabangsa menjadi korban setelah diketahui tengah mengungkap modus penunjukan langsung pelaksanaan proyek Dinas Pendidikan di Bangli. Setelah dilakukan penyidikan didapatlah 7 nama tersangka yang salah satu diantaranya adalah I Nyoman Susrama, anggota legislatif terpilih DPRD II Bangli dari PDIP Perjuangan.

Ya, kerap kali kasus kekerasan terjadi berkaitan dengan pejabat publik. Selama kasus korupsi dan penyalahgunaan masih sering terjadi, maka disitu pula jurnalis masih akan terus bekerja. Tak lain adalah untuk mengabarkan kepada publik informasi yang sebenar-benarnya. Namun kerja jurnalis semacam ini selalu tak disukai oleh pihak-pihak yang merasa terancam, hal ini pula yang membuat kasus kekerasan terhadap jurnalis kerap terjadi.

Yang saya sering lihat pula, kekerasan terhadap para jurnalis kerap dilakukan oleh para aparat keamanan negara, baik itu Polisi maupun TNI. Seperti pada kasus pemukulan terhadap Didik seorang jurnalis dari Riau Pos yang dilakukan oleh oknum TNI AD Robert Simanjuntak saat melakukan peliputan jatuhnya pesawat tempur Superhawk-200. Robert melakukan tindak arogan seperi menendang, mencekik dan merampas kamera milik Didik. Kasus juga terjadi pada Marvil Rumerung seorang jurnalis media cetak Manado yang mengalami tindak pemukulan oleh seorang oknum Polwan pada 14 Januari 2015 lalu. Entah apa yang melatarbelakangi tindakan arogan para oknum aparatur negara ini, yang jelas bagi saya hal ini bukanlah hal yang dibenarkan. Para jurnalis dihalang-halagi dalam pelaksanaan tugas mereka yang dijamin Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Dan yang lebih disayangkan adalah kurangnya perhatian terhadap proses penyidikan terhadap kasus-kasus yang menimpa jurnalis ini. Menurut saya para aparatur negara ogah-ogahan menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dalam kasus Udin misalnya, Polisi terkesan tidak melakukan tugasnya secara professional dan membuat kasus ini lama terurai. Bisa jadi polisi melakukan hal ini karna ada kepentingan pribadi yang ingin dilindungi. Udin memang terkenal dengan tulisan-tulisannya yang kritis dan hal ini membuat para oknum terkait merasa gerah.

Kekerasan terhadap insan pers adalah pelanggaran HAM dan juga tindak pelemahan terhadap hak kebebasan berpendapat. Menurut saya aparat negara harus lebih professional dalam menjalankan tugasnya, dan juga lembaga-lembaga pers harus terus aktif dalam mengawal proses penyidikan yang dialami oleh para aggotanya, apalagi para jurnalis di daerah. Pers merupakan salah satu pilar demokrasi, jika mereka terus saja diciderai bagaimana negeri ini bisa mengatakan bahwa dirinya sudah cukup demokratis.

Comments

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi

Jurnalis Harus Narsis

Kelas Jurnalistik bersama Dosen Tamu Yuni Eko Sulisiono (Tengah, menggunakan kemeja putih) seorang wartawan senior yang pernah bekerja di berbagai media dan kini memilih menjadi konsultan media.  Jurnalis bukan pekerjan untuk eksis, tapi butuh narsis. Seperti yang dikatakan Yuni Eko Sulistiono atau yang kerap disapa Kang Obod, seorang jurnalis senior yang kini bekerja sebagai konsultan media. Dalam diskusi tentang jurnalistik pada Jumat 4 Desember 2015 lalu, Kang Obod banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi seorang jurnalis di lapangan, dan muncullah kalimat ini ‘jurnalis harus narsis’. Saya memaknai ‘narsis’ bukan perkara eksistensi sang jurnalis, tapi memenuhi prinsip people right to know bahwa setiap orang berhak tahu, setiap orang harus tahu. Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, lalu meyampaikan informasi kepada publik melalui media massa. Dalam proses ini banyak yang harus dilakukan oleh jurnalis, pengorbanan dan dedi