Skip to main content

Pemilih Pemula, Pilkada, dan Social Media

Foto Ilustrasi by Pixabay

Sembilan Desember 2015, akan menjadi babak baru proses demokrasi di Indonesia. Dengan alasan berhemat, Pilkada dilakukan serentak. Seluruh warga negara yang sudah cukup usia memiliki hak untuk bersuara. Salah satu penentu suara di Pilkada adalah pemilih pemula. Mereka adalah anak muda yang kini hidup di tengah era informatika. Penyesuaian strategi kampanye perlu dilakukan, agar mereka tak luput dari perhatian.

Pemilih pemula adalah mereka yang baru pertama kalinya mendapat hak untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Bisa karna usia baru tercukupi maupun yang sudah menikah walaupun masih dibawah 17 tahun. Mereka adalah sasaran potensial, jumlah mereka di Pilkada serentak ini adalah 1.873.829 atau sekitar 1,8% dari keseluruhan pemilih (Sumber Website Resmi KPU https://data.kpu.go.id/dps2015.php). Mereka menjadi sangat potensial, di daerah dengan pasangan calon head to head perbedaan satu suara akan terasa lebih signifikan. Maka penting bagi pasangan calon untuk menjadikan pemilih pemula target utama. Ibarat bayi, mereka masih suci. Mereka bisa jadi sangat antusias ataupun jadi sangat malas untuk ikut berpartisipasi. Komisi Pemilihan Umum memiliki kewajiban untuk menanamkan pentingnya berdemokrasi agar para penerus negeri tak apatis pada hal berbau politis. Dan yang tak kalah penting adalah bagi pasangan calon ( selanjutnya disebut Paslon) pemimpin daerah yang ingin maju bertarung di pilkada, untuk menyesuaikan pada selera para pemula.

Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.7 Tahun 2015 Tentang Kampanye Pemilihan Guberbur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, pada bagian 7 pasal 41 huruf (e) salah satu yang dapat dijadikan media kampanye bagi paslon adalah media sosial. Selanjutnya mengenai ketentuan berkampanye di media sosial dijelaskan pada pasal 46-48. Tim paslon dibatasi hanya boleh memiliki tiga (3) akun media sosial resmi untuk berkampanye, dan harus didaftarkan secara resmi ke KPU menggunakan formulir BC4-KWK. Tim paslon dapat menggunakan akun media sosialnya selama masa kampanye, dan harus langsung menutup akun ini paling lambat satu hari setelah masa kampanye terakhir.

Anak muda Indonesia akrab dengan social media, satu orang dapat memiliki beragam akun di beragam sarana seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, Line dan lain sebagainya. Bahkan terkadang interaksi di media sosial lebih intens ketimbang interaksi tatap muka. Maka penetapan KPU untuk menjadikan media sosial sebagai media kampanye yang resmi juga dapat membatu paslon untuk mendekatkan diri pada para pemilih pemula. Dengan penyesuaian media kampanye dan penggunaan konten kampanye yang menarik yang disesuaikan dengan anak muda, akan lebih efektif ketimbang pemasangan flyer, poster maupun spanduk. Karna orangpun sudah malas terlebih dulu melihat banyak baliho paslon yang dipasang dipinggir jalan sebelum mereka membaca konten dari baliho tersebut.

Pendekatan paslon pada pemilih pemula dengan social media dapat dijadikan salah satu strategi ampuh untuk menggaet anak muda untuk turut berpartisipasi aktif dalam pesta demokrasi. Penggunaan bahasa maupun konten harus pula dengan nuansa anak muda tidak seperti tampilan-tampilan baliho kampanye pada umumnya.

Dengan media sosial anak muda juga akan mendapat kemudahan untuk mencari tahu siapa paslon yang yang akan dipilihnya, apa visi misinya, dan memutuskan siapa yang akan dipilihnya. Selain praktis penggunaan media sosial juga tergolong murah dan dapat menghemat biaya kampanye bagi paslon. Jika dikelola dengan baik media sosial juga bisa menjadi sebuah gerakan yang besar, seperti saat pemilihan presiden 2014 lalu. Begitu gencar para relawan membuat kampanye di media sosial hingga menjadi topik perbincangan.
Dengan segala kelebihannya, sosial media juga dapa menimbulkan problema seperti perang argumen antar pendukung. Dengan adanya akun resmi yang didaftarkan pada KPU diharapkan akun ini dapat meredam para pendukungnya jangan sampai terjadi bully. Karna kita tidak dapat menghindari setiap pendukung membuat akun-akun lain yang mengatasnamakan paslon.

Zaman terus berubah, orangpun harus terus mengikuti perkembangan zaman agar tak tertinggal. Maka strategi kampanyepun harus terus berinovasi mengikuti kemajuan teknologi informasi.

Comments

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi

Jurnalis Harus Narsis

Kelas Jurnalistik bersama Dosen Tamu Yuni Eko Sulisiono (Tengah, menggunakan kemeja putih) seorang wartawan senior yang pernah bekerja di berbagai media dan kini memilih menjadi konsultan media.  Jurnalis bukan pekerjan untuk eksis, tapi butuh narsis. Seperti yang dikatakan Yuni Eko Sulistiono atau yang kerap disapa Kang Obod, seorang jurnalis senior yang kini bekerja sebagai konsultan media. Dalam diskusi tentang jurnalistik pada Jumat 4 Desember 2015 lalu, Kang Obod banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi seorang jurnalis di lapangan, dan muncullah kalimat ini ‘jurnalis harus narsis’. Saya memaknai ‘narsis’ bukan perkara eksistensi sang jurnalis, tapi memenuhi prinsip people right to know bahwa setiap orang berhak tahu, setiap orang harus tahu. Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, lalu meyampaikan informasi kepada publik melalui media massa. Dalam proses ini banyak yang harus dilakukan oleh jurnalis, pengorbanan dan dedi