Skip to main content

Usaha Meningkatkan Mutu Wartawan

Foto Ilustrasi by Pixabay


Profesi wartawan adalah hak bagi setiap warga negara. Tidak ada aturan yang melarang seseorang untuk bekerja menjadi wartawan. Profesi wartawan berhadapan langsung dengan kepentingan publik. Dan juga memiliki posisi strategis di negara demokrasi seperti Indonesia. Pers menjadi salah satu dari empat pilar demokrasi setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Maka seseorang yang mengatakan dirinya wartawan haruslah memenuhi kompetensi dasar sebagai wartawan. Standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalitas wartawan.

Seperti yang kita ketahui Indonesia akan menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, dimana kita akan dihadapkan langsung dengan pesaing-pesaing dari negara-negara ASEAN lain. Maka dari itu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kita harus meningkat, tak terkecuali para pekerja di bidang jurnalistik. Selain dengan meningkatan kualitas melalui standarisasi kompetensi wartawan, pemerintah juga telah menyiapkan langkah khusus agar pekerja dari Indonesia dapat bersaing dengan negara lain. Yaitu dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN
Profesionalitas, itulah kata kunci yang menentukan apakah seorang wartawan layak menjadi penyaji informasi di mediamassa. Untuk menetapkan profesionalitas itu, Dewan Pers memfasilitasi penentuan alat ukurnya. Sejak tahun 2010 dilakukan perubahan standar kompetensi wartawan bersama masyarakat pers. Standar Kompetensi Wartawan (SKW) ini merupakan ketentuan dan alat ukur yang perlu dijadikan sebagai pedoman dalam dalam melaksanakan profesi kewartawanan itu. Meski menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara, namun bukan berarti setiap warga negara bisa melakukan pekerjaan kewartawanan. Standar kompetensi wartawan diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan danbukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan.

Menurut Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 Tentang Standar Kompetensi Wartawan, rumusan kompetensi yang sudah disepakati adalah menggunakan model dan kategori, yaitu: kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Kesadaran itu mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Pengetahuan meliputi teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus. Keterampilan dijabarkan dalam kegiatan 6M (Mencari, Memperoleh, Memiliki, Menyimpan, Mengolah, dan Menyampaikan) informasi,serta melakukan riset dan investigasi, analisis dan prediksi, maupun menggunakan alat dan teknolgi informasi. Dalam melaksanakan pekerjaan, wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan ketentuan hukum. Garis besar kompetensi kesadaran wartawan diperlukan bagi peningktan kinerja dan profesionalisme wartawan. Kesadaran akan etika dan hukum sangat penting dalam profesi kewartawanan. Sehingga, setiap langkah wartawan, termasuk dalam mengambil keputusan untuk menulis atau menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu dilandasi pertimbangan yang matang. Kesadaran etika juga akan memudahkan wartawan dalam mengetahui dan menghindari terjadinya kesalahan, seperti melakukan plagiat atau menerima imbalan. Dengan kesadaran ini, wartawan akan tepat dalam menentukan kelayakan berita atau menjaga kerahasiaan sumber. Kurangnya kesadaran akan etika dapat berakibat serius berupa ketiadaan petunjuk moral. Yaitu sesuatu yang dengan tegas mengarahkan dan memandu pada nilai-nilai dan prinsip yang harus dipegang. Kekurangan kesadaran juga dapat menyebabkan wartawan gagal dalam melaksanakan fungsinya.

Wartawan yang menyiarkan informasi tanpa arah, berarti gagal menjalankan perannya untuk menyebarkan kebenaran suatu masalah dan peristiwa. Tanpa kemampuan menerapkan etika, wartawan rentan terhadap kesalahan. Ini dapat memunculkan persoalan yang berakibat tersiarnya informasi yang tidak akurat dan bias, menyentuh privasi atau tidak menghargai sumber berita. Pada akhirnya hal itu menyebabkan kerja jurnalistik yang buruk. Untuk menghindari itu, wartawan wajib memiliki integritas, tegas dalam prinsip dan kuat dalam nilai. Dalam melaksanakan misinya wartawan harus beretika, memiliki tekad untuk berpegang pada standar jurnalistik yang tinggi dan memiliki tanggungjawab.Wartawan harus meningkatkan kompetensi etikanya, karena wartawan yang melakukan hal itu akan lebih siap dalam menghadapi situasi pelik. Untuk meningkatkan kompetensi etika, wartawan perlu memahami Kode Etik Jurnalistik dan kode etik organisasi wartawan masing-masing.
Seorang wartawan yang dianggap sudah memenuhi ketentuan SKW, ditentukan melalui ujian.
Dewan Pers sudah menetapkan, peserta yang dapat menjalani uji kompetensi adalah wartawan. Bagi wartawan yang belum berhasil dalam uji kompetensi dapat mengulang pada kesempatan berikutnya di lembaga-lembaga penguji kompetensi. Lembaga kompetensi yang sudah ditentukan adalah: perguruan tinggi komunikasi atau jurnalistik, lembaga pendidikan jurnalistik atau kewartawanan, perusahaan pers dan organisasi wartawan. Dalam SKW ini terdapat tiga jenjang yaitu; Wartawan Muda, Wartawan Madya, dan Wartawan Utama. Sudah sepatutnya seorang yang mengatakan dirinya wartawan haruslah sudah memiliki sertifikat kompetensi ini, melihat kini maraknya praktek-praktek wartawan gadunganyang turut memperburuk citra profesi wartawan. Menurut saya sertifikasi kompetensi wartawan merupakan wujud pers professional.Dengan adanya SKW ini diharapkan semakin meningkatnya kualitas jurnalisme di Indonesia.
*Jika kita ingin mengetahui siapa saja wartawan yang telah tersertifikasi kita bisa melihatnya di website resmi Dewan Pers.

KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia. Dalam KKNI ini nantinya akan dibagi menjadi sembilan jenjang kualifikasi pekerja, dimulai dari jenjang 1-3 yang dikelompokkan dalam jabatan operator, jenjang 4-6 dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis, serta jenjang 7-9 dikelompokkan dalam jabatan ahli. Pada era MEA 2015, aliran tenaga kerja antar negara akan semakin bebas sehingga tuntutan terhadap pengelolaan serta peningkatan mutu tenaga kerja nasional serta kesetaraan kualifikasinya dengan tenaga kerja asing akan menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi.

Lalu bagaimana kaitannya dengan profesi wartawan. Saya akan membahasnya dari sektor pendidikan. Pendidikan merupakan fondasi utama, dimana dari sektor pendidikan inilah lahir tenaga-tenaga baru yang siap bersaing. Bagaimana agar tenaga baru ini dapat bersaing dengan pesaing yang bisa jadi leih kuat dari negara lain? Lembaga-lembaga pendidikan di bidang jurnalistik baik formal maupun non-formal harus mengacu pada standar kompetensi KKNI. KKNI dibentuk merujuk pada standar kompetensi yang juga telah diberlakuakan dibeberapa negara seperti European Qualification Framework (EQF). Dengan sistem pendidikan yang merujuk pada KKNI maka standar lulusan yang diciptakanpun akan memiliki standar yang sama dengan pekerja dari negara lain, dengan itu pekerja dari Indonesia dapat bersaing dengan pesaing adri negara ASEAN lainnya. Penerapan sistem KKNI harus disegerakan, mengingat MEA tak lagi lama. Jika kita terlambat dalam peningkatan mutu para pekerja kita, bukan tidak mungkin nantinya tenaga kerja kita akan kalah bersaing dan lapangan kerja yang ada lebih banyak ditempati oleh tenaga kerja dari negara lain.

Comments

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi

Jurnalis Harus Narsis

Kelas Jurnalistik bersama Dosen Tamu Yuni Eko Sulisiono (Tengah, menggunakan kemeja putih) seorang wartawan senior yang pernah bekerja di berbagai media dan kini memilih menjadi konsultan media.  Jurnalis bukan pekerjan untuk eksis, tapi butuh narsis. Seperti yang dikatakan Yuni Eko Sulistiono atau yang kerap disapa Kang Obod, seorang jurnalis senior yang kini bekerja sebagai konsultan media. Dalam diskusi tentang jurnalistik pada Jumat 4 Desember 2015 lalu, Kang Obod banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi seorang jurnalis di lapangan, dan muncullah kalimat ini ‘jurnalis harus narsis’. Saya memaknai ‘narsis’ bukan perkara eksistensi sang jurnalis, tapi memenuhi prinsip people right to know bahwa setiap orang berhak tahu, setiap orang harus tahu. Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, lalu meyampaikan informasi kepada publik melalui media massa. Dalam proses ini banyak yang harus dilakukan oleh jurnalis, pengorbanan dan dedi