Skip to main content

Dibalik Nama : Margonda

Foto Ilustrasi by Pixabay




Pernah dengar kata Margonda? Salah satu nama jalan yang cukup dikenal di Kota Depok, dengan deretan pusat perbelanjaan yang selalu ramai setiap harinya. Kawasan bergaul anak muda, di kota dimana Universitas Indonesia berada. Tak pelak kepopulerannya dapat terdengar hingga daerah lain di sekitarnya. Tapi pernahkah kamu terfikir tentang asal usul nama jalan ini? Jalan yang pernah naik daun dengan kasus begalnya itu. Pernahkah kamu mencari tahu apa itu Margonda? Atau siapakah dia?


Sama seperti kebanyakan kisah nama jalan di Indonesia, nama Margonda juga diabadikan dari nama seorang pahlawan. Depok dahulu diketahui sebagai salah satu kota kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bogor, namun belum diketahui mengapa pemerintah Bogor kala itu memilih nama Margonda menjadi nama jalan utama di Kota Depok. JJ Rizal, sejarawan Universitas Indonesia menyatakan “Soal pemberian nama jalan, kan semata-mata bukan urusan sejarah. Lebih kepada politik. Selama ini, banyak nama tentara yang dijadikan nama jalan meski bukan berasal dari daerah itu. Misalnya para tokoh pahlawan revolusi yang menjadi jalan di berbagai wilayah. Seingat saya, nama Jalan Margonda sudah ada sejak 1980-an,". Pernyataannya itu dilansir oleh media online merdeka.com.

Margonda dikenal sebagai analis kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor. Ia lahir dan besar di Bogor, dan tinggal bersama keluarganya di Jalan Ardio, Bogor. Pada awal tahun 1940-an, Margonda juga sempat mengikuti pelatihan penerbangan cadangan di Luchtvaart Afdeeling (Departemen Penerbangan Belanda) yang harus berakhir pada 5 Maret 1942, karna Belanda menyerah dan nusantara jatuh ke tangan Jepang. Yang membuatnya harus bekerja kepada Jepang. Namun semangat perjuangannya tak pupus, apalagi ketika peristiwa bom atom Nagasaki dan Hiroshima yang memaksa Jepang harus meninggalkan nusantara.

Margonda mulai berjuang dengan cara mengumpulkan pemuda-pemuda dan membentuk Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor. Namun laskar yang dibentuknya tak berumur panjang, AMRI terpecah menjadi gerakan-gerakan lain seperti BKR, Pesindo, KRISS, dll. Margonda memilih untuk bergabung dengan BKR dan mengikuti pendidikan militer. Tuntas dengan pendidikan militernya Margonda dimasukkan ke Batalion Kota Bogor dan menyandang pangkat Letnan Muda. Dari Bogor, ia menempuh perjalanan kereta untuk bergabung dengan Batalion I Depok.
Perjuangan Margonda yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa Gedoran Depok. Dimana kala itu Margonda turut dalam gerakan pengambil alihan Depok dari para penjajah. Gedoran Depok terjadi pada 11 Oktober 1945. Peristiwa ini berawal dari merdekanya Depok pada 28 Juni 1714 dan berada dibawah kekuasaan Cornelis Chastelein. Cornelis membuat Depok memiliki pemerintahannya sendiri dan terlepas dari intervensi luar. Dirinya juga mewariskan seluruh tanah kekuasaanya kepada 12 marga budaknya yang berasal dari berbagai Indonesia lalu memerdekakan mereka dalam wasiatnya sebelum meninggal. Para budaknya ini hidup bak orang Eropa, dan muncullah sebutan Belanda Depok. Pemerintahan Depok kala itu berbentuk republik dan dipimpin oleh seorang presiden yang dipilih setiap tiga tahun.

Kala Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, warga Depok menolak bergabung karna merasa sudah memiliki negara sendiri. Itulah yang memancing kemarahan pejuang kemerdekaan. Depok diserang dan dikepung oleh para pejuang dan akhirnya takluk pada 11 Oktober 1945, yang dikenal dengan Gedoran Depok. Namun tak lama kemudian Depok kembali dikuasai NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) yang mengekor sekutu memasuki Depok. NICA membebaskan warga Depok tawanan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dan membawa tawanan wanita juga anak-anak ke kamp pengungsian di Kedunghalag, Bogor.

Dari situlah para pejuang Indonesia termasuk Margonda, kembali mengatur barisan dan berencana untuk mengambil alih Depok dari NICA. penyerbuan itu terjadi pada tanggal 16 November 1945, dan memiliki sandi perang; Serangan Kilat. Peristiwa ini menjadi akhir perjuangan Margonda, dirinya gugur di Kali Bata, Depok. Gedoran Depok kerap disebut revolusi sosial pinggiran Jakarta. Selain Margonda, dalam peristiwa ini juga muncul tokoh-tokoh lain seperti Letnan Dua Tole Iskandar dan Mochtar Sawangan.

Melihat kisah perjuangan Margonda, rasanya pantaslah jika namanya kini diabadikan menjadi nama jalan utama di Kota Depok. Sebagai sebuah apresiasi dan pengingat kepada generasi selanjutnya bahwa pejuang bernama Margonda pernah ada untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Susu Mama Muda VS Susu Kental Manis

Cerita ini akan saya awali dari perjalanan saya mudik pada 30 Agustus 2017. Saya menaiki kereta api Bengawan dari stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Gombong, Jawa Tengah. Bengawan itu kereta ekonomi, kursinya panjang-panjang yang bisa ditempati tiga orang, posisinya juga saling berhadapan. Jadi, interaksi antar penumpang boleh dibilang jadi cukup dekat selama perjalanan. Karena libur panjang banyak keluarga yang melakukan perjalanan pulang kampung di depan saya duduk Aysilla yang sudah SD dengan ibunya dan di sebelah saya ada Arjuna yang baru 10 bulan bersama kedua orang tuanya. Dari sinilah ide menulis perihal persusuan muncul. Tapi perlu diketahui saya bukan dokter anak, saya bukan mahasiswi kedokteran saya bukan ahli persusuan, saya cuma mahasiswa biasa yang lumayan tergelitik sama kisah persusuan ini. Kamu pasti tahu kan lagu anak-anak yang lirik awalnya berbunyi P ok Ame-Ame ? Nah pas saya gugling ternyata ada banyak versi dari lirik lagu ini, tapi pas saya kecil begi

Jika aku jadi Jurnalis...

Foto Ilustrasi by Pixabay Aku kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Salah satu mata kuliah yang harus ku tempuh di semester 4 ini adalah Jurnalistik Public Value. Keren ya namanya! Sebagai permulaan Ibu dosen beri tugas pada kami, menulis artikel tentang 'Jika aku jadi wartawan'. Tapi aku merubahnya menjadi... Jika Aku Jadi Jurnalis... Istilah jurnalistik baru ku kenal dengan baik beberapa tahun ini, tapi bidang ini sudah ku gemari hampir sedekade lalu. Boleh dibilang aku   korban   televisi. Sama seperti anak-anak lain kala itu yang selalu menunggu kartun di minggu pagi, tapi ada hal lain yang lebih menarik perhatianku dibalik tabung kaca itu. Ya, Ayah ku bukan penggemar drama, beliau lebih suka nonton berita. Berawal dari situlah ketertarikanku bermula. Melihat seorang Rosiana yang begitu mempesona di layar kaca, membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Mempesona bukan karna elok rupanya, namun kharisma seorang wartawan yang dimi

Jurnalis Harus Narsis

Kelas Jurnalistik bersama Dosen Tamu Yuni Eko Sulisiono (Tengah, menggunakan kemeja putih) seorang wartawan senior yang pernah bekerja di berbagai media dan kini memilih menjadi konsultan media.  Jurnalis bukan pekerjan untuk eksis, tapi butuh narsis. Seperti yang dikatakan Yuni Eko Sulistiono atau yang kerap disapa Kang Obod, seorang jurnalis senior yang kini bekerja sebagai konsultan media. Dalam diskusi tentang jurnalistik pada Jumat 4 Desember 2015 lalu, Kang Obod banyak bercerita mengenai pengalamannya menjadi seorang jurnalis di lapangan, dan muncullah kalimat ini ‘jurnalis harus narsis’. Saya memaknai ‘narsis’ bukan perkara eksistensi sang jurnalis, tapi memenuhi prinsip people right to know bahwa setiap orang berhak tahu, setiap orang harus tahu. Pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan mencari, mengumpulkan, mengolah, lalu meyampaikan informasi kepada publik melalui media massa. Dalam proses ini banyak yang harus dilakukan oleh jurnalis, pengorbanan dan dedi